Kapitalisasi Pendidikan: Dampak kapitalisme terhadap dunia pendidikan (Bagian 1)



KAPITALISASI PENDIDIKAN:
Dampak kapitalisme terhadap dunia pendidikan


PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia atau upaya membantu manusia agar mampu mewujudkan diri sesuai dengan martabat kemanusiannya.[1] Daoed Joesoef[2] mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai alat yang menentukan sekali untuk mencapai kemajuan bangsa dalam segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia. [3]
Pendidikan juga awal untuk membangun basis kebudayaan dan peradaban.[4] Dengan demikian digambarkan bahwa pendidikan adalah wadah atau alat untuk mencapai tujuan dan kemajuan, sebagaimana telah digariskan dalam pepatah “bahwa kemajuan suatu bangsa dapat di pengaruhi oleh faktor pendidikan”. Namun tanpa kita sadari dengan perkembangan zaman dan semakin meningkat pesatnya perkembangan teknologi membawa kita lupa akan pentingnya pendidikan.
Masalah ekonomi yang menimpa masyarakat Indonesia, yang seringkali membuat paradigma masyarakat berubah tentang pendidikan.[5] Semakin meningkatnya kebutuhan sehari-hari, beban biaya pendidikan semakin bertambah. Memperoleh pendidikan sama susahnya dengan mencari penghidupan. Maka berdasarkan penomena tersebut, penulis berusaha untuk menyajikan pengaruh dan dampak kapitalisme terhadap dunia pendidikan.

PENGERTIAN KAPITALISASI PENDIDIKAN
       Secara bahasa kata kapitalisasi berasal dari bahasa Inggris capital yang berarti modal. Kemudian menjadi serapan bahasa indonesia yaitu kapital. kata kapital mendapat akhiran -isasi dengan makna upaya atau usaha atau proses. Dengan kata lain, kapitalisasi berarti proses atau upaya atau usaha mengkapitalkan. Sedangkan arti pendidikan, menurut kamus besar Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Dengan demikian pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.[6]
Menurut Ki Hajar Dewantara,[7] pendidikan adalah tuntutan didalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Sedangkan Horne mengatakan, adalah proses yang terus menerus dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kapitalisasi pendidikan adalah proses atau upaya untuk menjadikan prinsip-prinsip kapitalisme[8] digunakan di dalam sektor pendidikan, negara tidak membatasi kepemilikan perorangan di dalam sektor pendidikan, artinya satuan penyelenggara pendidikan atau lembaga sekolah dapat dikuasai oleh perorangan baik swasta ataupun korporasi, sehingga segala kebijakannya diatur oleh sektor swasta tersebut. Pengelola sektor pendidikan ini, mulai bersaing antara satu dengan lainnya. Bagi pihak pengelola pendidikan yang memenangkan persaingan akan mendapatkan pengguna jasa pendidikan lebih banyak.
Modal dari pihak pengelola sektor pendidikan pun akan masuk dan dapat diakumulasikan. Ketika  mengikat maka akan terjadi monopoli, sehingga penentuan harga (biaya pendidikan) tanpa ada penawaran dan permintaan terlebih dahulu dengan para pengguna jasa pendidikan. Pengelola pendidikan pun menawarkan harga (biaya pendidikan) tanpa memikirkan kemampuan dari pihak pengguna jasa pendidikan. Jelas hal ini akan merugikan bagi pihak pengguna jasa pendidikan, karena mereka tidak diberi kesempatan untuk menawar harga (biaya pendidikan). Akhirnya, akan muncul kesenjangan-kesenjangan bahwa orang yang kaya lah yang bisa mendapatkan pendidikan tersebut. Sedangkan bagi pihak pengguna jasa pendidikan yang kurang mampu, akan kesulitan dalam mendapatkan pendidikan tersebut. [9]

TUJUAN POKOK PENDIDIKAN
Muhammad ‘Athijah Al-Abrasy mengatakan, tujuan pendidikan adalah penanaman budi pekerti dan akhlak yang sempurna. Pendidikan dan pengajaran bukanlah hanya memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi menanamkan rasa Fadhilah (keutamaan), membiasakan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya Ikhlas dan Jujur.[10] Senada dengan pendapat ini, Hadji Khalifah menjelaskan bahwa tujuan dari belajar bukanlah mencari rizki di dunia ini, tetapi mencapai ilmu yang sebenarnya dan Akhlak yang sempurna. Sedangkan menurut Al-Ghazali yang utama adalah mendekatkan diri kepada Allah.

Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah mencari ridha Allah swt. dengan pendidikan, diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan ummat manusia secara keseluruhan.[11] Disebabkan manusia merupakan fokus utama pendidikan, maka seyogyanyalah institusi-institusi  pendidikan memfokuskan kepada substansi kemanusiaan, membuat sistem yang mendukung kepada terbentuknya manusia yang baik, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan. 
____________________________________

[1] Jusuf A. Feisal, Reorientasi pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 173.
[2] Daoed Joesoef lahir di Medan, Sumatera Utara, 8 Agustus 1926, sekarang berumur 87 tahun, ia adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dari 1978 sampai 1983 dalam Kabinet Pembangunan III. Ia dilahirkan dari pasangan Moehammad Joesoef dan Siti Jasiah asal Jeron Beteng, Yogyakarta. Dia menikah dengan Sri Sulastri dan dikaruniai anak Sri Sulaksmi Damayanti.
Daoed memperoleh gelar sarjana ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1959). Setelah itu ia meneruskan studinya ke Sorbonne, Perancis dan meraih dua gelar doktor, yakni Ilmu Keuangan Internasional dan Hubungan Internasional (1967) serta Ilmu Ekonomi (1973). Daoed Joesoef adalah salah seorang tokoh yang ikut mendirikan CSIS (Centre for Strategic and International Studies).
[3] Syafaruddin, Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat: Esay-Esay Pemikiran Pemberdayaan Dari Aspek Manajerial, Kecerdasan dan Kepribadian, (Sumatra Utara: Perdana Publishing, 2012), HAL. 31.
[4] Soedjatmoko dan Conny Semiawan, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1991), hal. 93.           
[5] Conny Semiawan, dkk. Panorama Filsafat Ilmu: Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, (Jakarta: Teraju, 2007), hal. 131-134.
[6] Asep Sapa'at, Stop Menjadi Guru, (Jakarta: Tangga Pustaka, 2012), hal. 276.
[7] Ki Hadjar Dewantara nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, lahir di Yogyakarta, tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun, ia adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959.
[8] Kapitalisme berarti suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya dengan bebas untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sementara itu pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi pemilik modal.
[9] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakkan, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005), hal. 3.
[10] Muhammad ‘Athijah Al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 15-18.
[11] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2009),  hal. 27.

Lanjut ke : Bagian 2, Bagian 3







Share on Google Plus

About Zaenal Muhtadin

Adalah Sebuah keputusan This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment