Dalam
pandangan Islam, manusia bukan saja terdiri dari komponen fisik dan materi,
namun terdiri juga dari spiritual dan jiwa.[12] Oleh sebab itu,
sebuah institusi pendidikan bukan saja memproduksi anak didik yang akan
memiliki kemakmuran materi, namun juga yang lebih penting adalah melahirkan
individu-individu yang memiliki diri yang baik sehingga mereka akan menjadi
manusia yang serta bermanfaat bagi ummat dan mereka mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat. Kebahagian lahir dan batin.[13]
Institusi
pendidikan perlu mengarahkan anak didik supaya mendisiplinkan akal dan jiwanya,
memiliki akal yang pintar dan sifat-sifat dan jiwa yang baik, melaksanakan
perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, memiliki pengetahuan yang luas, yang
akan menjaganya dari kesalahan-kesalahan, serta memiliki hikmah dan keadilan. Oleh
sebab itu juga, ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam institusi pendidikan
seyogyanya dibangun di atas
Wahyu yang membimbing kehidupan manusia. Kurikulum yang ada perlu mencerminkan
memiliki integritas ilmu dan amal, fikr dan zikr, akal dan hati. Pandangan
hidup Islam perlu menjadi paradigma anak didik dalam memandang kehidupan.[14]
DAMPAK KAPITALISASI TERHADAP PENDIDIKAN
Ada
beberapa dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya kapitalisasi
dalam pendidikan. Kebanyakan dampak yang ditimbulkan adalah
dampak negatif. Diantaranya hal berikut :[15]
1.
Angka putus sekolah semakin meningkat
Semakin berkurang atau
bahkan hilangnya peran negara dalam
dunia pendidikan, akan berdampak buruk
bagi masyarakat, kemiskinan semakin menggurita. Hal ini terjadi dikarenakan banyak anak usia sekolah yang
gagal atau putus sekolah karena ketidakmampuan membayar dana pendidikan yang
mahal, sehingga ia akan kesulitan dalam mengembangkan
potensi yang dimilikinya.
2.
Pemerataan pembangunan akan sulit dicapai
Sekolah dengan
spesifikasi atau berkualitas bagus membebankan biaya pendidikan yang mahal, masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah kurang
bisa mengakses pendidikan tersebut. Sehingga pendidikan yang berkualitas hanya bisa dinikmati oleh
sekelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas. Pemerataan
pembangunan akan sulit dicapai, yang kaya semakin kaya karena mendapatkan akses
pendidikan yang baik, dan yang miskin tetap miskin karena ketidakmampuan dalam
mengakses pendidikan yang lebih baik. Masyarakat
semakin terkotak-kotak dalam status sosial ekonomi.
3.
Negara tidak mempunyai peran aktif
Ketika satuan
pendidikan dikapitalisasi, maka peran negara hanya sebagai fasilitator.
Yang berperan aktif
mengelola lembaga pendidikan adalah pihak swasta. Kedudukan kampus atau sekolah
otonom dari pemerintah, negara tidak ikut
campur tangan terhadap pengelolaan pendidikan atau sekolah. Hal
tersebut menuntut lembaga sekolah kreatif dalam mencari dana bila ingin tetap
bertahan. Kemungkinan yang terjadi, membuka bisnis atau menaikan biaya
pendidikan. sehingga pendidikan memang benar-benar dikomersilkan, bila sudah
demikian biaya pendidikan semakin mahal, sehingga akan sulit dijangkau
masyarakat yang kurang mampu.[16]
4.
Hanya golongan menengah ke atas yang bisa mengakses pendidikan baik
Biaya
pendidikan yang mahal akan sulit dijangkau oleh masyarakat yang berpendapatan
rendah. Anak usia sekolah akan meninggalkan bangku kelas. Mereka akan lebih
memilih bekerja dari pada sekolah.[17] Mencari biaya hidup saja kesulitan apalagi
dana pendidikan yang tak terjangkau. Sehingga sekolah layaknya seperti yang
terjadi dizaman penjajahan, yang hanya diperuntukan bagi masyarakat priyayi
atau golongan menengah ke atas.
Munculnya
Sekolah Berstandar Internasiaonal (SBI) dan sekolah biasa merupakan
pengejawantahan semangat kapitalisasi dalam dunia pendidikan. Sekolah ber-SBI atau minimal masih Rintisan Standar
Internasional
(RSBI)
memberikan pasilitas kelas dan tenaga pengajar yang khusus
yang secara otomatis pembiayaan beberapa kali lipat lebih mahal dari sekolah
pada umumnya. Ruangan kelas ber-AC, jumlah peserta didik terbatas hanya 20
orang perkelas, alat peraga dan ruang multimedia lengkap bahkan pasilitas
komputer, satu anak satu komputer. Hal ini berbanding terbalik dengan model
kelas biasa dengan biaya rendah. Bila demikian halnya maka kelas SBI atau RSBI
hanya bisa dinikmati oleh golongan ekonomi menengah ke atas.
5.
Pendidik dianggap sekedar pekerja didik
Dalam
sistem pendidikan seperti ini, pendidik atau guru dianggap sebagai pekerja. Pengelola
pendidikan hanya dianggap sebagai manajer bisnis pendidikan. Dan Yayasan
pendidikan, sekolah atau perguruan tinggi dianggap sebagai investor. Dan SPP
dianggap sebagai Income dan sumber penghasilan.
Ketika investor ingin mendapatkan income yang lebih banyak maka dengan serta merta
menaikan pembayaran uang sekolah. Pasilitas sekolah yang serba mewah diikuti
dengan penawaran harga dana pendidikan yang tidak terjangkau.
6.
Peserta didik hanya sebagai customer
Peserta didik sebagai customer atau konsumen pembeli produk pendidikan.[18] Sebagai konsumen harus
mendapatkan service atau pelayanan yang prima dari sekolah, sebagai garansinya
membayar spp yang selangit.
Bila hal initerjadi maka nilai-nilai dan kedisiplinan yang ingin diterapkan
kedalam diri anak sulit tercapai. Padahal dalam tujuan utama adalah membentuk karakter
dan akhlak menjadi adat dan kebiasaan sehingga membentuk sikap yang baik pula.
7.
Tujuan
pendidikan semakin kabur
Dampak
yang paling sangat menonjol dari perubahan oriaentasi pendidikan adalah berubahnya
tujuan penyelenggaraan pendidikan. Terselenggaranya
pendidikan merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.[19] Menjadikan lahir
individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada
dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan
______________________________________
[12] Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An
Exposition Of The Fundamental Elements Of Worldview Of Islam, (Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC),
2001), hal. 143
[13] Anwar
Sanusi, Jalan Kebahagiaan, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hal. 256.
[14] Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An
Exposition Of The Fundamental Elements Of Worldview Of Islam….hal. 4-5.
[15] Asep
Sapa'at, Stop Menjadi Guru…..hal. 113.
[16] Masdar
Farid Masudi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hal. 83.
[17] Ayu
Hermawan, Indonesiaku!, Sebentuk Manikam Untukmu: Dedikasi Seorang Guru :
Biografi Profesor Doktor Henry Alexis Rudolf Tilaar, (Jakarta: Grasindo,
2007), hal. 52-53.
[18] Evie
Ngangi, Lekuk Liku Bisnis Pendidikan, (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2010), hal 75.
[19] Pembukaan
UUD 1945, dan batang tubuh UUD 1945 pada pasal 31 ayat 1.
Blogger Comment
Facebook Comment