Oleh: Zaenal Muhtadin
C. Urgensi Studi Islam
Ruang Lingkup Islam dipandang sebagai gejala budaya,
maka agama merupakan universal cultural. Agama Islam sejak kemunculan
hingga sekarang, telah menunjukkan eksistensi mendasar dan telah menunjukan peran
besar dan penting di masyarakat. Karena itu, ada beberapa alasan studi Islam
menjadi sangat layak dan penting dilakukan.
1.
Subjek Studi Islam: Insider dan Outsider
Insider adalah para peneliti agama Islam yang
berasal dari agamanya sendiri. Sedangkan outsider adalah para peneliti yang
berasal dari non-Muslim. Para outsider mempelajari Islam dan menafsirkannya
dalam berbagai analisis dan pembacaan dengan metodologi orang luar. Pada
akhirnya muncul istilah orientalisme. Para peneliti selalu menghadapi problem
teramat sulit untuk melakukan studi yang bersifat objektif, netral dan
terhindar dari bias, apalagi ketika menyentuh ajaran-ajaran normatif agama yang
dianutnya.[1]
2.
Alternatif Dalam Menghadapi Problematik Umat
Islam
Umat Islam berada dalam posisi yang terpinggirkan
dan lemah dalam berbagai aspek kehidupan. Dilain sisi, dunia terus berkembang
dengan modernisasinya. Sehingga, umat Islam dituntut untuk melakukan gerakan
pemikiran yang diharapkan dapat menghasilkan konsep pemikiran cemerlang untuk
mampu bersaing dengan perkembangan globalisasi.
Satu sisi, jika umat Islam hanya berpegang pada
ajaran-ajaran Islam dari hasil penafsiran ulama terdahulu yang dianggap sebagai
ajaran yang sudah mapan, sempurna, dan paten, serta tidak ada keberanian untuk
melakukan kajian ulang, berarti umat Islam mengalami kemandegan intelektual dan
akan berdampak pada masa depan yang suram. Sementara jika mereka bersikap
kritis dan berani melakukan pembaharuan rasional guna menyesuaikan dengan
tuntutan perkembangan zaman, mereka akan dituduh sebagai umat yang tidak lagi
setia dengan ajaran Islam dari pendahulunya.
Melalui pendekatan yang bersifat objektif rasional,
studi Islam diharapkan mampu memberikan alternatif pemecahan masalah atau jalan
keluar dari kondisi yang problematik tersebut. Studi Islam diharapkan dapat
mengarah dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha pembaharuan dan pemikiran
kembali ajaran-ajaran Islam, agar mampu beradaptasi dan menjawab tantangan
serta tuntutan zaman, dengan tetap berpegang teguh pada sumber dasar ajaran
Islam yaitu al Qur’an dan As-Sunnah.[2]
3.
Meluruskan Arah Tujuan Hidup Manusia
Roger Garaudy mengemukakan bahwa perkembangan
filsafat dan peradaban modern telah mendorong manusia pada hidup tanpa tujuan dan
membawanya pada kematian.[3]
Hal ini merupakan akibat dari perkembangan filsafat Barat modern yang salah
arah, yang berpegang pada:
1.
Konsep yang keliru tentang alam. Alam dianggap sebagai
“milik” manusia, dan ia berhak untuk memanfaatkannya atau merusaknya, sehigga
manusia tidak memandangnya, kecuali sebagai
reservoir kekayaan alam dan tempat pembuangan sampah.
2.
Konsep yang tidak mengenal belas kasihan tentang
hubungan manusia. Ini didasarkan atas individualisme tanpa kendali dan hanya
menghasilkan masyarakat persaingan pasar, konfrontasi, kekerasan; di mana beberapa
kesatuan ekonomi atau
politik yang ketat dan sangat kuat memperbudak
atau memangsa mereka
yang lebih lemah.
3.
Konsep yang meyebabkan rasa putus asa terhadap masa depan,
tanpa tujuan kemanusiaan, dan tanpa
hubungan dengan Tuhan, serta
tanpa sesuatu yang transeden yang mengatasi cakrawala ini,
untuk memberikan arti
kepada hidup umat manusia dan mengelakkan
mereka dari jalan yang
menuju kematian.
Di sinilah
letak urgensi studi
Islam, untuk meluruskan
kembali ke arah yang benar terhadap tujuan hidup manusia, yakni sebagai
khalifah.[4]
4.
Manusia Sebagai Khalifah Allah Di Muka Bumi
Manusia layak menyandang tugas sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Karena makhluk yang termulia di antara makhluk-makhluk
yang lain[5]
dan ia dijadikan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk/kejadian, baik fisik
maupun psikhisnya,[6]
serta dilengkapi dengan berbagai alat potensial dan potensi-potensi dasar
(fitrah) yang dapat dikembangkan dan diaktualisasikan seoptimal mungkin melalui
proses pendidikan.
Tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi
antara lain menyangkut tugas mewujudkan kemakmuran di muka bumi,[7]
serta mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan hidup di muka bumi,[8]
dengan cara beriman dan beramal saleh,[9]
bekerjasama dalam menegakkan kebenaran dan bekerjasama dalam menegakkan
kesabaran.[10]
Karena itu tugas kekhalifahan merupakan tugas suci dan amanah dari Allah sejak
manusia pertama hingga manusia pada akhir zaman. Juga tugas kekhalifahan ini dapat
ditunaikan hanya dengan ilmu dan iman.[11]
5.
Menggali Kembali Ajaraan Islam Yang Asli dan Murni
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘aalamiin,
tentunya mempunyai konsep atau ajaran yang bersifat universal, yang dapat
menyelamatkan umat manusia dan alam semesta dari kehancurannya. Disinilah
urgensi studi Islam, untuk menggali kembali ajaran-ajaran Islam yang asli dan
murni, manusiawi, namun tetap relevan dengan keadaan zaman. Sejarah telah
membuktikan kemajuan peradaban Islam di masa Daulah Islamiyah, ini didorong
pemahaman dan pegangan umat Islam terhadap ajaran yang asli dan murni. Oleh
karena itu, diharapkan mampu memberikan pemecahan terhadap keadaan yang
problematis sekarang ini yang dialami dunia Islam.[12]
Dan citra negatif dari sebagain masyarakat terhadap ajaran Islam hilang.[13]
D. Ruang Lingkup Studi Islam
Ruang
lingkup menjelaskan mengenai batasan sebuah subjek yang ada di dalam sebuah
masalah. Jika diartikan secara luas, ruang lingkup merupakan sebuah batasan.
Batasan yang dimaksud disini dapat berupa faktor yang diteliti seperti halnya
materi, waktu, tempat, dan lain sebagainya. Sedangkan makna dalam arti yang
sempit, ruang lingkup adalah suatu hal atau materi. Sementara itu, menurut
wiktionary, ruang lingkup adalah besaran subjek yang tercakup.
Ruang
lingkup studi Islam adalah sebuah metode untuk pembatasan permasalahan dalam mengkaji
Islam. Artinya, batasan subjek yang akan diteliti ataupun jumlah masalah yang
diteliti, materi yang akan dibahas, maupun variabel yang akan diteliti dalam
cakupan Agama Islam. Jadi, tidak semua aspek dalam agama Islam bisa menjadi
objek kajian.
Menurut
Hakim, ada tiga aspek dari Agama Islam yang dapat menjadi objek studi,[14] yaitu:
1.
Islam dipandang sebagai doktrin Tuhan
Doktrin berarti ajaran yang kebenarannnya absolut
dan mutlak benar tidak bisa diganggu gugat.[15]
Ranah ini setidaknya membidangi tiga pokok utama, yaitu doktrin Akidah, Syariah
dan Akhlak. Ketiga hal ini yang tidak bisa dipisahkan sebab dalam tataran praktiknya
menyatu secara utuh dalam pribadi seorang muslim. Sebuah sabda Rasulullah SAW
yang diriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu’anh menyebutkan ada
Trilogi doktrin (ajaran) Islam yakni Iman, Islam dan Ihsan.[16]
Keimanan merupakan keyakinan secara mutlak kepada
Allah SWT. Elaborasi aspek keimanan dijabarkan oleh para ulama dalam diskursus
akidah atau tauhid. Keyakinan seorang muwahhid dan mukmin membuahkan sikap penyerahan
diri secara total kepada Allah SWT. untuk melaksanakan semua perintah-Nya dan
meninggalkan semua larangan-Nya. Sikap semacam ini merupakan hakikat dari Islam
yang kemudian termaktub dalam bingkai syari'ah, Muamalah dan siyasah
yang tercakup dalam kajian ilmu fiqih atau terminologi Islam.
Sikap ber-Islam seperti ini tentu tak cukup sekedar di bibir, tetapi perlu
direalisasikan dalam amal (tindakan) yang benar dan luhur sebagai hakikat aspek
ihsan. Pengembangan aspek ihsan tercakup dalam bidang akhlak dan
tasawuf.[17]
Jadi, seorang dikatakan sebagai muslim sejati
apabila ia mempu menyatukan tiga dimensi tersebut. Pada perkembangan
selanjutnya trilogi tersebut menjadi tiga kerangka dasar Islam yang digunakan
dalam tiga bidang pemikiran Islam, yaitu Aqidah, Syari’ah dan Akhlak.
2.
Islam dipandang sebagai gejala budaya
Gejala budaya adalah suatu hal yang membuat manusia
mengikuti tradisi yang berlaku dari dulu dan sudah menjadi hal biasa di
lingkungan. Gejala budaya juga bermakna pergolakan dalam konteks kebudayaan
masyarakat. Ini berarti ruang lingkup kajian Islam dalam hal apa yang menjadi
kreasi manusia yang ada kaitannya dengan agama Islam. Mengkaji Islam dengan
memposisikan diri peneliti di luar agama Islam. Islam bukanlah sebuah agama
tetapi hanya sebuah budaya, kreasi, hasil pemikiran manusia. Termasuk di
dalamnya juga, pemahaman orang Islam terhadap doktrin agamanya.
3.
Sebagai interaksi sosial yaitu realitas umat islam.
Dikutip dari buku Pengantar Sosiologi karangan
Trisni Andayani menyebutkan Interaksi sosial adalah kejadian ketika aktivitas
seseorang terhadap individu lainnya diberi ganjaran atau hukuman menggunakan
tindakan orang lain.[18]
Realitas adalah sesuatu yang telah ada sejak masa lalu atau kenyataan umat
Islam. Kenyataan keberadaan umat Islam ditengah-tengah masyarakat, interaksi
antar umat Islam sendiri atau interaksi umat Islam dengan umat lain baik itu
bernilai positif ataupun negatif menjadi bahan kajian dan penelitian Islam.
Sementara itu, pendapat Amin Abdullah terdapat tiga
wilayah keilmuan agama Islam yang dapat menjadi Objek Studi Islam, yaitu:[19]
1. Wilayah
praktek keyakianan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah diinterpretasikan
sedemikian rupa oleh para ulama, tokoh panutan masyarakat pada umumnya. Wilayah
praktek ini umumnya tanpa melalui klarifikasi dan penjernihan teoritik keilmuan
yang dipentingkan disini adalah pengalaman.
2. Wilayah
teori-teori keilmuan yang dirancang dan disusun sistematika dan metodologinya
oleh para ilmuan, para ahli, dan para ulama sesuai bidang kajiannya
masing-masing. Apa yang ada pada wilayah ini sebenarnya tidak lain dan tidak
bukan adalah “teori-teori” keilmuan agama islam, baik secara deduktif dari
nash-nash atau teks-teks wahyu, maupun secara induktif dari praktek-praktek
keagamaan yang hidup dalam masyarakat era kenabian, sahabat, tabi’in maupun
sepanjang sejarah perkembangan masyarakat muslim dimanapun mereka berada.
3. Telaah
teritis yang lebih popular disebut metadiscourse, terhadap sejarah perkembangan
jatuh bangunnya teori-teori yang disusun oleh kalangan ilmuan dan ulama pada
lapis kedua. Wilayah pada lapis ketiga yang kompleks dan sophisticated inilah
yang sesungguhnya dibidangi oleh filsafat ilmu-ilmu keislaman.
[1] Ali, Sayuthi. 2002. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan, Teori,
dan Praktik. Jakarta:
Raja Grafindo
Persada. hal. 4.
[2] Rozali, M. 2020.
Metodologi Studi Islam dalam Perspectives
Multydisiplin Keilmuan. Depok: Rajawali Buana Pusaka. hal. 21-25.
[3] Graudy, Roger.
1982. Janji-Janji Islam Terjemahan H.M. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang.
hal. 29.
[4] QS. al
Baqarah: 30
[5] QS. al-Isra’:
70
[6] QS. al-Tin: 5
[7] QS. Hud: 61
[8] QS. al Maidah:
16
[9] QS. al Ra’d:
29
[10] Q.S. al ’Ashr:
1-3
[11] Muthohar, Ahmad.
2013. Urgensi Pendidikan Islam. Cendekia Vol. 11 No. 1 Juni 2013. hal. 50.
[12] Rozali, M. 2020.
Metodologi Studi Islam dalam Perspectives
Multydisiplin Keilmuan. Depok: Rajawali Buana Pusaka. hal. 38.
[13] Wahib, Abd.
2020. Pengantar Studi Islam. Jember: Institut Agama Islam Negeri Jember. hal. 2.
[14] Hakim, M. Nur.
2004. Metode Studi Islam. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. hal.
13.
[15] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai
Pustaka. Hal.
239.
[16] Nawawi, Syaikh
Imam. 2022. Terjemah Hadits Arbain Nawawiyah. Semarang: Pustaka Nuun.
Hal. 3 dan Jawaz, Yazid bin Abdul Qadir. 2011. Syarah Arba’in An-Nawawi,
t.tk.: Pustaka Imam Syafi’i. hal. 35.
[17] Siroj, Said
Aqil.2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai
Inspirasi, Bukan Aspirasi. Bandung: Mizan Pustaka. hal. 75.
[18] Andayani, Trisni
dkk. 2020. Pengantar Sosiologi. Medan: Yayasan Kita Menulis. Hal. 23
Blogger Comment
Facebook Comment