Studi Hadits: Analisis Terhadap Shalat Tarawih Berjamaah dalam Perspektif Ahlu Sunnah dan Syi’ah (Bagian 5)




Ditulis oleh : Zaenal Muhtadin


ANALISA DAN KRITIK MATAN[1]
Para ulama hadits semenjak periode pengumpulan hadits dimulai telah mengerahkan konsentrasinya secara penuh kepada kritik sanad dan sedikit kurang perhatiannya dalam kritik matan.[2] Padahal isi sebuah hadits atau matan masih dimungkinkan terdapat syadz atau 'illah walaupun jalur periwayatannya atau sanadnya shahih. Dengan demikian para muhadits memberikan beberapa kriteria dalam penilaian terhadap sebuah konten hadits, diantaranya bahwa sebuah matan hadits tidak boleh bertentangan dengan; akal sehat, ketentuan al-Qur'an yang muhkam, hadits mutawatir, amalan para ulama salaf, dalil-dalil yang pasti, dan hadits-hadits ahad yang keshahihannya dinilai lebih kuat.[3]
Berdasarkan beberapa kriteria tersebut, maka matan hadits yang diriwayatkan Abdu ar-Razaq berkualitas shahih. Pada hadits tersebut tidak ditemukan syadz atau 'illah yang bisa menurunkan derajatnya sehingga menjadi dhaif. Nampak dengan jelas bahwa tidak ada perbedaan lafaz yang berarti dalam setiap periwayatan. Susunan inti matan seluruhnya sama seperti yang terdapat dalam hadits Bukhari. Dengan demikian periwayatan Abdu ar-Razaq dikuatkan posisinya oleh hadits Bukhari, Malik, dan Baihaqi.
Pada keempat hadits dituturkan penegasan sayidina Umar bin Khaththab ra. dalam pelaksanaan berjamaah shalat tarawih. Kelompok Syi’ah menilai bahwa Umar bin Khaththab ra. sebagai sahabat pertama yang melegitimasi kesunahan berjamaah, sehingga tarawih adalah ajaran Umar yang belum pernah ada di zaman Nabi saw. dan karenanya bagi orang Syi’ah, tarawih adalah bid’ah. [4]Rasulullah saw dikatakannya tidak pernah melakukan perbuatan tersebut.[5] Padahal Terdapat banyak dalil yang menunjukkan adanya shalat tarawih berjamaah di zaman Nabi Muhammad saw. seperti yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Tsa’labah bin Abi Malik, bahwa Rasulullah saw. melihat ada beberapa orang yang shalat berjamaah tarawih dan beliau membenarkannya.[6]
Berikutnya, bahwa Rasulullah saw. mengimami shalat tarawih pada malam ke-23, 25 dan 27 di bulan Ramadahan, sebagaimana disampaikan oleh an-Nu’man bin Basyir ra.[7] Dalam hal ini, al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini menjadi dalil yang sangat jelas bahwa shalat tarawih yang dilakukan di masjid kaum muslimin adalah sunah, yang menjadi kebiasaan masa silam dan Ali bin Abi Thalib sendiri ikut memotivasi Umar ra. untuk melestarikan sunah ini.[8]  Dan juga Rasulullah saw. mengatakan, orang yang shalat tarawih berjamaah bersama imam hingga selesai, maka dia mendapat pahala shalat tahajud semalam suntuk.[9] Dalam hadits lain dikatakan bahwa Nabi saw. pernah melakukan shalat malam (baca: tarawih) pada bulan Ramadhan berjamaah bersama para sahabat di masjid. Namun Nabi saw. hanya melakukan shalat malam ini beberapa kali. Beliau khawatir jika shalat malam (baca: tarawih) diwajibkan atas umatnya.[10] Seperti hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abdullah bin Yusuf dari Malik bin Anas dari Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah, bahwasannya:

 “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah shalat pada suatu malam di masjid. Orang-orang pun turut shalat mengikuti shalat beliau. Kemudian pada malam berikutnya beliau shalat lagi dan orang-orang semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat. Namun, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak keluar menemui mereka. Keesokan harinya, Nabi berkata, “Sungguh aku melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang menghalangiku keluar kepada kalian selain aku takut jika ini diwajibkan atas kalian.” Dan itu pada bulan Ramadhan.”[11]

Perbuatan nabi Muhammad saw. tidak melanjutkan shalat malam berjamaah bersama para sahabat bukan karena dilarang Allah swt. melainkan karena beliau hawatir jika shalat malam (baca: tarawih)  menjadi diwajibkan atas umatnya. Karena kecintaan dan sayang kepada umatnya, sehingga beliau takut umatnya dibebani perbuatan ibadah yang belum tentu umatnya sanggup melakukannya. Begitu juga Nabi saw. khawatir jika umatnya menganggap shalat tarawih ini hukumnya wajib.[12] Dengan demikian, Shalat tarawih berjamaah di masjid mempunyai dasar yang kuat karena Nabi saw. pernah melakukannya, meskipun hanya beberapa kali. Namun demikian, apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw. adalah sunnah.
Kebiasaan para shahabat menjalankan shalat tarawih terus berlangsung. Mereka berpencar-pencar, melakukan sendirian (munfarid) atau bermakmum kepada imam yang berbeda-beda.[13] Kondisi ini terjadi di masa hidup Rasulullah saw, di masa kekhalifahan Abu Bakar dan di awal kekahlifahan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhuma. Kemudian Umar bin Al-Khattab menyatukan kaum muslimin untuk bermakmum kepada satu imam.[14] Umar menghidupkan sunah Rasulullah saw, yang beliau tinggalkan karena khawatir Allah wajibkan. Menurutnya kekhawatiran itu sudah tiada, wahyu tidak lagi turun sehingga tidak akan ada perubahan hukum yang terjadi. Ijtihad Umar ra. ini, disetujui oleh semua shahabat termasuk Ali radhiyallahu ‘anhu, yang diklaim Syi’ah sebagai imam yang pertama.[15] Tidak ada riwayat menyebutkan ada shahabat yang menentang diserukannya kembali shalat tarawih berjamaah. Dengan demikian shalat tarawih dengan berjamaah merupakan ijma’ para shahabat.[16] Dan ijma’ merupakan salah satu sumber syariah yang disepakati.[17]
Mengenai perkataan Umar radhiyallahu anhu “Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (nimatul bid’ah hadzihi).[18] Para ulama menjelaskan bahwa perkataan tersebut tidak berimplikasi syariat, tetapi hanya sebatas perkataan lughawi (bahasa atau etimologi) atau bid’ah dari sisi lughawi.[19] Karena memang telah ada contoh dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.[20] Tidak bisa menuduh Umar ra sebagai pembuat hukum baru, Umar menghianati rasulullah saw dengan membuat kesesatan dalam beribadah, sebagai pelopor para penentang terhadap masalah tauhid.[21] Padahal Umar juga menambahkan, “Orang-orang yang sekarang tidur itu lebih baik dari pada yang bangun.”[22] Maksudnya, berjamaah tarawih di masjid pada awal malam adalah bagus. Namun, orang yang tidur pada awal malam agar bisa bangun tengah malam atau dini hari untuk shalat adalah lebih bagus lagi.
Alasan orang Syi’ah dengan menyebutkan “Setiap Bid’ah adalah sesat” (kullu bid’atin dhalalah) adalah tidak tepat. Bid’ah merupakan sesuatu perbuatan baru yang tidak ada sumber dalil syar’inya, adapun yang memiliki sumber dalil syar’i bukanlah bid’ah.[23] Keputusan Umar dalam menghidupkan kembali berjamaah dalam tarawih, seperti halnya mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf, menulis hadits dalam masanid, sunan atau jawami’, menulis buku-buku ilmu pengetahuan serta mendirikan sekolah-sekolah, ini semua tidak dinilai bid’ah secara syar’i.[24] Begitu juga pencomotan hadits ‘Aisyah[25] radhiyallahu ‘anha menjadi argumen pembid’ahan dinilai ada ketidakjujuran ilmiah. Mengambil dalil setengah-setengah, mengurangi dan memotong hadits yang hanya untuk menguatkan pendapatnya. Dalam tuduhannya penulis Syi’ah menulis:

“Menjadikan hadis di atas sebagai dalil akan legalitas shalat tarawih berjamaah sangatlah lemah dan tidak sempurna. Karena di dalam teks hadis tersebut jelas sekali bahwa, tidak ada penjelasan bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan sehingga itu menunjukkan shalat tarawih. Selain karena hadis itu secara sanadnya terdapat pribadi yang bernama Yahya bin Bakir yang dihukumi lemah (dhaif) dalam meriwayatkan hadis. Hal itu bisa dilihat dalam kitab “Tahdzibul Kamal” jilid 20 halaman 40 dan atau Siar A’lam an-Nubala’ jilid 10 halaman 612. apalagi jika kita kaitkan dengan pengakuan sahabat Umar sendiri yang mengaakan bahwa tarawih adalah; “Sebaik-baik bid’ah”, sebagaimana yang telah kita singung di atas”.[26]


[1] Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’a min al-aradhi (tanah yang meninggi). Secara terminologis yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Disebutkan juga bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah saw shahabat ataupun tabi`in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan shahabat yang tidak disanggah oleh Nabi saw.
[2] Muhammad bin Muhammad bin Suwailam Abu Syuhbah, Difa’ ‘An as-Sunnah Wa Raddu Syubhi al-Mustasyriqin Wal Kitab al-Muashirin, (Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islami, 1985), Cet. 2, hal. 49.
[3] Syuhudi Isma'il, Metodologi Penelitian Hadith Nabi.....hal. 125-129.
[4] Abdul Husain Syafaruddin al-Musawi, Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah.....hal. 76.
[5] Muhammad Bin Hasan Al-Hur Al-ʼAmili, Wasā’il Asy-Syìʻah.....Jilid 8, hal. 45.
[6] Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa al-Khurajirdiy al-Khurasaniy al-Baihaqiy, as-Sunan al-Kubra.....Jilid 2, hal. 697. Hadits ini hadis mursal yang hasan. Kemudian dalam jalur lain terdapat riwayat yang maushul (bersambung), dari Abu Hurairah dengan sanad diterima, dan al-Albani menilai hadis Hasan.
[7] Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad as-Syaibani, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Muhaqiq Syuaib Arnauth, Hadits No.18402, (t.k.: Muassasah ar-Risalah, 2001), Jilid 30, hal. 351. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushanaf, an-Nasai, dan al-Firyabi dan dishahihkan oleh Al-Hakim.
[8] Abu Abdillah al-Hakim Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Hamduwiyah bin Nuaim bin al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala Shahihain, Muhaqiq Musthafa Abdul Qadir ‘Atha, Hadits No. 1608, (Bairut: Darul Kutub al-Alamiyah, 1990), Cet. 1, Jilid 1, hal. 607.
[9] Ibnu Majah Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Muhaqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Hadits No. 1327, (t.k.: Darul Ihya al-Kutub al-Rabi, 2009), Jilid 1, hal. 420.
[10] Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar Al-Azdi As-Sijistani, Sunan Abu Daud, Muhaqiq Syuaib Arnauth, Hadits No. 1373, (Bairut: Dar ar-Risalah al-Alamiah, 2009), Jilid 2, hal. 254.
[11] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Ja’fi al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.....Jilid 2, hal. 50.
[12] Ibid
[13] Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath Al-Bari fi Syarh Shahih Al-Bukhari.....Juz 4, hal. 203-204.
[14] Abdullah bin Wahab bin Muslim, Muwatha Abdullah bin Wahab.....Jilid 1, hal. 99.
[15] Abu Abdillah al-Hakim Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Hamduwiyah bin Nuaim bin al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala Shahihain.....Cet. 1, Jilid 1, hal. 607.
[16] Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abd al-Bar bin ‘Ashim an-Namiri al-Qurthubi, Jamiu’ Bayan al-Ilmi wa Fadhailihi, Tahkik Abu al-Asybal az-Zuhairi, (Saudi Arabia: Dar Ibnu al-Jauzi, 1994), Cet. 1, Jilid 1, hal. 759.
[17] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain al-Ghitabi al-Hanfi Badruddin al-‘Aini, Umdatul Qaari Syarh Shahih al-Bukhari, (Bairut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, t.t.), Jilid 16, hal. 164.
[18] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Ja’fi al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.....Jilid 2, hal. 50.
[19] Abu Hasan Ubaidullah bin Muhammad Abdussalam bin Khan Muhammad bin Amanullah bin Hisamuddin, Mura’atul Mafaati Syarh Misykat al-Anwar, (Binarisil Hindi: Idaratul Buhuts al-Alamiah wa ad-Dakwah wa al-Ifta, 1984), Cet. 3, Jilid 4, hal. 328.
[20] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Ja’fi al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.....Jilid 2, hal. 50.
[21] Seperti tuduhan blogger Syi’ah yang berjudul: Shalat Tarwih Berjamaah Adalah Bid’ah. Dapat dilihat di http://ahmadrettaa.blogspot.com/p/blog-page_5.html.
[22] Abu Bakar Abdul ar-Razaq bin Hamam bin Nafi’ al-Humairiy al-Yamaniy as-Shan’aniy, al-Mushannaf.....Jilid 4, hal. 258.
[23] Said bin Nashir al-Ghamidi, Haqiqah al-Bid’ah wa Ahkamuha, (Riyad: Maktabah ar-Rasyd, t.t.), Jilid 1, hal. 416.
[24] Abdullah bin Abdul Aziz bin Hamadah al-Jabarin, Tashil al-Aqidah al-Islamiah, (t.k.: Dar al-Ushaimi Linnasyr wa at-Tauzi’, t.t.), hal. 476.
[25] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Ja’fi al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.....Jilid 2, hal. 50. Ini kutipan haditsnya dalam argumen Syi’ah :
“Ummul Mukmin Aisyah berkata: “Pada satu pertengahan malam, Rasulullah keluar dari rumah untuk melaksanakan shalat di masjid. Beberapa orang mengikuti shalat beliau (sebagai makmum. red). Masyarakatpun mulai berdatangan karena kabar yang tersebar. Hal itu berjalan hingga malam ketiga. Masjidpun menjadi penuh. Pada malam keempat, setelah melaksanakan shalat Subuh Rasul berkhutbah di depan masyarakat dengan sabdanya: “…Aku khawatir perbuatan ini akan menjadi (dianggap) kewajiban sedang kalian tidak dapat melaksanakannya”. Sewaktu Rasulullah meninggal, suasana menjadi sedia kala” (Shahih Bukhari jilid 1 halaman 343)”.
[26] Bisa dibaca dalam tulisan “Shalat Tarwih Berjamaah Adalah Bid’ah” karya seorang penganut syi’ah di http://ahmadrettaa.blogspot.com/p/blog-page_5.html.


Lanjut ke : Bagian 6
Kembali ke : Bagian 4, Bagian 3, Bagian 2, Bagian 1
Share on Google Plus

About Zaenal Muhtadin

Adalah Sebuah keputusan This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment