Ditulis oleh : Zaenal Muhtadin
ANALISA
DAN KRITIK MATAN[1]
Para
ulama hadits semenjak periode pengumpulan hadits dimulai telah mengerahkan
konsentrasinya secara penuh kepada kritik sanad dan sedikit kurang perhatiannya
dalam kritik matan.[2] Padahal
isi sebuah hadits atau matan masih dimungkinkan terdapat syadz atau 'illah
walaupun jalur periwayatannya atau sanadnya shahih. Dengan demikian para
muhadits memberikan beberapa kriteria dalam penilaian terhadap sebuah konten
hadits, diantaranya bahwa sebuah matan hadits tidak boleh bertentangan dengan;
akal sehat, ketentuan al-Qur'an yang muhkam, hadits mutawatir, amalan
para ulama salaf, dalil-dalil yang pasti, dan hadits-hadits ahad yang keshahihannya
dinilai lebih kuat.[3]
Berdasarkan
beberapa kriteria tersebut, maka matan hadits yang diriwayatkan Abdu
ar-Razaq berkualitas shahih. Pada hadits tersebut tidak ditemukan syadz
atau 'illah yang bisa menurunkan derajatnya sehingga menjadi dhaif.
Nampak dengan jelas bahwa tidak ada perbedaan lafaz yang berarti dalam setiap
periwayatan. Susunan inti matan seluruhnya sama seperti yang terdapat dalam
hadits Bukhari. Dengan demikian periwayatan Abdu ar-Razaq dikuatkan posisinya oleh
hadits Bukhari, Malik, dan Baihaqi.
Pada keempat hadits dituturkan penegasan
sayidina Umar bin Khaththab ra. dalam pelaksanaan berjamaah shalat tarawih. Kelompok
Syi’ah menilai bahwa Umar bin Khaththab ra. sebagai sahabat pertama yang melegitimasi
kesunahan berjamaah, sehingga tarawih adalah ajaran Umar yang belum pernah ada
di zaman Nabi saw. dan karenanya bagi orang Syi’ah, tarawih adalah bid’ah. [4]Rasulullah
saw dikatakannya tidak pernah melakukan perbuatan tersebut.[5]
Padahal Terdapat banyak dalil yang menunjukkan adanya shalat tarawih berjamaah
di zaman Nabi Muhammad saw. seperti yang terdapat dalam hadits yang
diriwayatkan Tsa’labah bin Abi Malik, bahwa Rasulullah saw. melihat ada
beberapa orang yang shalat berjamaah tarawih dan beliau membenarkannya.[6]
Berikutnya, bahwa Rasulullah saw. mengimami
shalat tarawih pada malam ke-23, 25 dan 27 di bulan Ramadahan, sebagaimana
disampaikan oleh an-Nu’man bin Basyir ra.[7]
Dalam hal ini, al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini menjadi dalil yang sangat
jelas bahwa shalat tarawih yang dilakukan di masjid kaum muslimin adalah sunah,
yang menjadi kebiasaan masa silam dan Ali bin Abi Thalib sendiri ikut memotivasi
Umar ra. untuk melestarikan sunah ini.[8] Dan juga Rasulullah saw.
mengatakan, orang yang shalat tarawih berjamaah bersama imam hingga selesai,
maka dia mendapat pahala shalat tahajud semalam suntuk.[9]
Dalam hadits lain dikatakan bahwa Nabi saw. pernah melakukan shalat malam (baca:
tarawih) pada bulan Ramadhan berjamaah bersama para sahabat di masjid. Namun Nabi
saw. hanya melakukan shalat malam ini beberapa kali. Beliau khawatir jika
shalat malam (baca: tarawih) diwajibkan atas umatnya.[10]
Seperti hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abdullah bin Yusuf dari Malik
bin Anas dari Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah,
bahwasannya:
“Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah shalat pada suatu malam di masjid.
Orang-orang pun turut shalat mengikuti shalat beliau. Kemudian pada malam
berikutnya beliau shalat lagi dan orang-orang semakin banyak. Kemudian mereka
berkumpul pada malam ketiga atau keempat. Namun, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam tidak keluar menemui mereka. Keesokan harinya, Nabi berkata, “Sungguh
aku melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang menghalangiku keluar
kepada kalian selain aku takut jika ini diwajibkan atas kalian.” Dan itu pada
bulan Ramadhan.”[11]
Perbuatan nabi Muhammad saw. tidak
melanjutkan shalat malam berjamaah bersama para sahabat bukan karena dilarang
Allah swt. melainkan karena beliau hawatir jika shalat malam (baca: tarawih) menjadi diwajibkan atas umatnya. Karena
kecintaan dan sayang kepada umatnya, sehingga beliau takut umatnya dibebani perbuatan
ibadah yang belum tentu umatnya sanggup melakukannya. Begitu juga Nabi saw.
khawatir jika umatnya menganggap shalat tarawih ini hukumnya wajib.[12]
Dengan demikian, Shalat tarawih berjamaah di masjid mempunyai dasar yang kuat
karena Nabi saw. pernah melakukannya, meskipun hanya beberapa kali. Namun
demikian, apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw. adalah sunnah.
Kebiasaan para shahabat menjalankan
shalat tarawih terus berlangsung. Mereka berpencar-pencar, melakukan sendirian
(munfarid) atau bermakmum kepada imam yang berbeda-beda.[13]
Kondisi ini terjadi di masa hidup Rasulullah saw, di masa kekhalifahan Abu
Bakar dan di awal kekahlifahan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhuma. Kemudian
Umar bin Al-Khattab menyatukan kaum muslimin untuk bermakmum kepada satu imam.[14]
Umar menghidupkan sunah Rasulullah saw, yang beliau tinggalkan karena khawatir
Allah wajibkan. Menurutnya kekhawatiran itu sudah tiada, wahyu tidak lagi turun
sehingga tidak akan ada perubahan hukum yang terjadi. Ijtihad Umar ra. ini, disetujui
oleh semua shahabat termasuk Ali radhiyallahu ‘anhu, yang diklaim Syi’ah sebagai imam yang pertama.[15]
Tidak ada riwayat menyebutkan ada shahabat yang menentang diserukannya kembali
shalat tarawih berjamaah. Dengan demikian shalat tarawih dengan berjamaah
merupakan ijma’ para shahabat.[16]
Dan ijma’ merupakan salah satu sumber syariah yang disepakati.[17]
Mengenai perkataan Umar radhiyallahu
anhu “Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (nimatul bid’ah hadzihi).[18]
Para ulama menjelaskan bahwa perkataan tersebut tidak berimplikasi syariat,
tetapi hanya sebatas perkataan lughawi (bahasa atau etimologi) atau bid’ah dari
sisi lughawi.[19] Karena
memang telah ada contoh dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.[20]
Tidak bisa menuduh Umar ra sebagai pembuat hukum baru, Umar menghianati rasulullah
saw dengan membuat kesesatan dalam beribadah, sebagai pelopor para penentang
terhadap masalah tauhid.[21]
Padahal Umar juga menambahkan, “Orang-orang yang sekarang tidur itu lebih baik
dari pada yang bangun.”[22]
Maksudnya, berjamaah tarawih di masjid pada awal malam adalah bagus. Namun,
orang yang tidur pada awal malam agar bisa bangun tengah malam atau dini hari
untuk shalat adalah lebih bagus lagi.
Alasan orang Syi’ah dengan menyebutkan “Setiap
Bid’ah adalah sesat” (kullu bid’atin dhalalah) adalah tidak tepat. Bid’ah
merupakan sesuatu perbuatan baru yang tidak ada sumber dalil syar’inya, adapun
yang memiliki sumber dalil syar’i bukanlah bid’ah.[23]
Keputusan Umar dalam menghidupkan kembali berjamaah dalam tarawih, seperti
halnya mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf, menulis hadits dalam masanid,
sunan atau jawami’, menulis buku-buku ilmu pengetahuan serta mendirikan
sekolah-sekolah, ini semua tidak dinilai bid’ah secara syar’i.[24]
Begitu juga pencomotan hadits ‘Aisyah[25]
radhiyallahu ‘anha menjadi argumen pembid’ahan dinilai ada ketidakjujuran
ilmiah. Mengambil dalil setengah-setengah, mengurangi dan memotong hadits yang
hanya untuk menguatkan pendapatnya. Dalam tuduhannya penulis Syi’ah menulis:
“Menjadikan hadis di atas sebagai dalil
akan legalitas shalat tarawih berjamaah sangatlah lemah dan tidak sempurna.
Karena di dalam teks hadis tersebut jelas sekali bahwa, tidak ada penjelasan
bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan sehingga itu menunjukkan shalat tarawih.
Selain karena hadis itu secara sanadnya terdapat pribadi yang bernama Yahya bin
Bakir yang dihukumi lemah (dhaif) dalam meriwayatkan hadis. Hal itu bisa
dilihat dalam kitab “Tahdzibul Kamal” jilid 20 halaman 40 dan atau Siar A’lam
an-Nubala’ jilid 10 halaman 612. apalagi jika kita kaitkan dengan pengakuan
sahabat Umar sendiri yang mengaakan bahwa tarawih adalah; “Sebaik-baik bid’ah”,
sebagaimana yang telah kita singung di atas”.[26]
[1] Kata matan atau al-matan menurut bahasa
berarti ma shaluba wa irtafa’a min al-aradhi (tanah yang meninggi).
Secara terminologis yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Disebutkan
juga bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad. Baik pembicaraan itu sabda
Rasulullah saw shahabat ataupun tabi`in. Baik isi pembicaraan itu tentang
perbuatan Nabi, maupun perbuatan shahabat yang tidak disanggah oleh Nabi saw.
[2] Muhammad bin Muhammad bin
Suwailam Abu Syuhbah, Difa’ ‘An as-Sunnah Wa Raddu Syubhi al-Mustasyriqin
Wal Kitab al-Muashirin, (Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islami, 1985), Cet. 2, hal.
49.
[5] Muhammad Bin Hasan Al-Hur
Al-ʼAmili, Wasā’il Asy-Syìʻah.....Jilid 8, hal. 45.
[6] Abu Bakar Ahmad
bin Husain bin Ali bin Musa al-Khurajirdiy al-Khurasaniy al-Baihaqiy, as-Sunan
al-Kubra.....Jilid 2, hal. 697. Hadits ini hadis mursal yang hasan. Kemudian dalam jalur
lain terdapat riwayat yang maushul (bersambung), dari Abu Hurairah dengan sanad
diterima, dan al-Albani menilai hadis Hasan.
[7] Abu Abdullah
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad as-Syaibani, Musnad al-Imam
Ahmad bin Hanbal, Muhaqiq Syuaib Arnauth, Hadits No.18402, (t.k.: Muassasah
ar-Risalah, 2001), Jilid 30, hal. 351. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn
Abi Syaibah dalam al-Mushanaf, an-Nasai, dan al-Firyabi dan dishahihkan oleh
Al-Hakim.
[8] Abu Abdillah al-Hakim Muhammad
bin Abdillah bin Muhammad bin Hamduwiyah bin Nuaim bin al-Hakim, al-Mustadrak
‘Ala Shahihain, Muhaqiq Musthafa Abdul Qadir ‘Atha, Hadits No. 1608,
(Bairut: Darul Kutub al-Alamiyah, 1990), Cet. 1, Jilid 1, hal. 607.
[9] Ibnu Majah
Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Muhaqiq
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Hadits No. 1327, (t.k.: Darul Ihya al-Kutub al-Rabi,
2009), Jilid 1, hal. 420.
[10] Abu Daud
Sulaiman bin Al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar Al-Azdi
As-Sijistani, Sunan Abu Daud, Muhaqiq Syuaib Arnauth, Hadits No. 1373,
(Bairut: Dar ar-Risalah al-Alamiah, 2009), Jilid 2, hal. 254.
[11] Muhammad bin
Ismail Abu Abdullah al-Ja’fi al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.....Jilid 2, hal. 50.
[12] Ibid
[13] Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin
Hajar al-‘Asqalani, Fath Al-Bari fi Syarh Shahih
Al-Bukhari.....Juz 4, hal. 203-204.
[14] Abdullah bin Wahab bin Muslim, Muwatha
Abdullah bin Wahab.....Jilid 1, hal. 99.
[15] Abu Abdillah al-Hakim Muhammad
bin Abdillah bin Muhammad bin Hamduwiyah bin Nuaim bin al-Hakim, al-Mustadrak
‘Ala Shahihain.....Cet. 1, Jilid 1, hal. 607.
[16] Abu Umar Yusuf
bin Abdullah bin Muhammad bin Abd al-Bar bin ‘Ashim an-Namiri al-Qurthubi, Jamiu’
Bayan al-Ilmi wa Fadhailihi, Tahkik Abu al-Asybal az-Zuhairi, (Saudi
Arabia: Dar Ibnu al-Jauzi, 1994), Cet. 1, Jilid 1, hal. 759.
[17] Abu Muhammad
Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain al-Ghitabi al-Hanfi Badruddin
al-‘Aini, Umdatul Qaari Syarh Shahih al-Bukhari, (Bairut: Dar Ihya
at-Turats al-Arabi, t.t.), Jilid 16, hal. 164.
[18] Muhammad bin
Ismail Abu Abdullah al-Ja’fi al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.....Jilid 2, hal. 50.
[19] Abu Hasan
Ubaidullah bin Muhammad Abdussalam bin Khan Muhammad bin Amanullah bin
Hisamuddin, Mura’atul Mafaati Syarh Misykat al-Anwar, (Binarisil Hindi:
Idaratul Buhuts al-Alamiah wa ad-Dakwah wa al-Ifta, 1984), Cet. 3, Jilid 4, hal.
328.
[20] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah
al-Ja’fi al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari.....Jilid 2, hal. 50.
[21] Seperti tuduhan blogger Syi’ah
yang berjudul: Shalat Tarwih Berjamaah Adalah Bid’ah. Dapat dilihat di
http://ahmadrettaa.blogspot.com/p/blog-page_5.html.
[22] Abu Bakar Abdul ar-Razaq bin
Hamam bin Nafi’ al-Humairiy al-Yamaniy as-Shan’aniy, al-Mushannaf.....Jilid
4, hal. 258.
[23] Said bin Nashir
al-Ghamidi, Haqiqah al-Bid’ah wa Ahkamuha, (Riyad: Maktabah ar-Rasyd,
t.t.), Jilid 1, hal. 416.
[24] Abdullah bin
Abdul Aziz bin Hamadah al-Jabarin, Tashil al-Aqidah al-Islamiah, (t.k.:
Dar al-Ushaimi Linnasyr wa at-Tauzi’, t.t.), hal. 476.
[25] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah
al-Ja’fi al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari.....Jilid 2, hal. 50. Ini kutipan haditsnya dalam argumen Syi’ah
:
“Ummul Mukmin Aisyah berkata:
“Pada satu pertengahan malam, Rasulullah keluar dari rumah untuk melaksanakan
shalat di masjid. Beberapa orang mengikuti shalat beliau (sebagai makmum. red).
Masyarakatpun mulai berdatangan karena kabar yang tersebar. Hal itu berjalan
hingga malam ketiga. Masjidpun menjadi penuh. Pada malam keempat, setelah
melaksanakan shalat Subuh Rasul berkhutbah di depan masyarakat dengan sabdanya:
“…Aku khawatir perbuatan ini akan menjadi (dianggap) kewajiban sedang kalian
tidak dapat melaksanakannya”. Sewaktu Rasulullah meninggal, suasana menjadi
sedia kala” (Shahih Bukhari jilid 1 halaman 343)”.
Blogger Comment
Facebook Comment