Korelasi Tauhid dan Pendidikan: Penanaman Tauhid Prioritas Utama Dalam Pendidikan (Bagian 3)





Pendidikan untuk berbuat baik kepada orang tua
Birrul walidain, berbuat baik kepada kedua orang tua menjadi sesuatu yang harus dan wajib di ajarkan kepada anak. Al-qur’an telah mewartakan melalui pesan Luqman dalam mengajarkan kepada anak untuk berbuat baik kepada orang. Pesan ini Allah abadikan dalam firman-Nya : “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.[1] Ketidaktahuan dan kelalaian orang tua dalam mendidik anak dikehidupan modern sekarang, meyebabkan banyak anak yang tidak mengerti sopan santun kepada orang tua bahkan tidak sedikit yang mendurhakainya.[2] Padahal orang tua yang telah melahirkan, mengasuhnya, dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.
Sikap baik terhadap kedua orang tua menempati kedudukan yang istemewa dalam ajaran islam. Perintah ini di tempatkan oleh Allah SWT. di al-qur’an langsung sesudah perintah beribadah kepada-Nya semata-mata atau sesudah larangan mempersekutukan-Nya. Allah SWT berfirman : “Dan ingatlah ketika kami mengambil janji dari bani israil yaitu: “ janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak....”[3] Bahkan walaupun agamanya kafir atau musyrik tetap mempergaulinya di dalam kehidupan dunia dengan cara yang ma'ruf.[4] Begitu indahnya ajaran Islam.

Pendidikan menanamkan cinta amal shalih
Menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama merupakan motto hidup manusia muslim.[5] Kebiasaan beramal shalih pada diri anak haruslah dilakukan sejak dini. Ketika anak mengetahui bahwa Allah SWT. akan membalas semua jerih payahnya, kebajikannya walaupun sebesar zarrah.[6] Maka keyakinan tersebut harus tertanam dengan baik dalam sanubari. Dengan begitu ia akan selalu berusaha untuk mengamalkan kebaikan. Ia akan senantiasa meningkatkan amalnya dan selalu taat kepada perintah-Nya serta selalu berbakti kepada kedua orang tuanya, saudara dan lingkungan sekitar.
Luqman menanamkan keyakinan kepada anaknya bahwa apa saja yang di kerjakan manusia, betapapun halus dan kecilnya, tidak luput dari pengawasan Allah SWT. Semuanya akan mendapatkan balasan dari Allah SWT meskipun hanya seberat biji sawi. Allah SWT berfirman : (Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”[7]
 
Pendidikan ibadah kepada Allah SWT
Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup apa-apa yang Allah cintai dan ridhai, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, baik amalan  zhahir dan  amalan bathin.[8] Seperti Shalat, zakat, puasa, haji, melaksanakan amanah, berbuat baik kepada orang tua, silaturrahim, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar, berjihad di jalan Allah, berbuat baik pada tetangga, memelihara anak yatim, fakir-miskin, mencintai Allah dan Rosul-Nya.[9]
Setelah aqidah diperkenalkan dengan baik kepada anak, tahap selanjutnya adalah mengajarkan kepada anak untuk mengerjakan apa yang telah di perintahkan oleh Allah SWT. berupa ibadah kepada Allah bukan yang lain.[10] Pada surat luqman Allah menyuruh mengajarkan anak untuk mendirikan sholat dan berdakwah. Allah SWT berfirman : “Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang di wajibkan (oleh Allah).”[11] Hal ini perintah untuk melaksanakan shalat, amar ma’ruf-nahi munkar dan sikap sabar.
Shalat merupakan tiang agama. Sesiapa yang menjaga shalat maka ia telah mendirikan agamnya, dan sesiapa yang meninggalkan shalat maka ia telah meruntuhkan agamanya.[12] Amalan kedua yang harus dijalani setiap orang setelah ia menyatakan Islam.[13] Perintah untuk melaksanakan sholat ketika anak berumur tujuh tahun dan membolehkan memukulnya karena meninggalkan atau enggan melaksanakan shalat ketika berumur sepuluh tahun.[14] Memukul bukan untuk menyakiti akan tetapi memberikan effek jera dan penekanan betapa pentingnya mengerjakan shalat. Karena, shalat merupakan penghubung anatara seorang hamba dan Rabb-nya.
Ketika seorang anak telah belajar mengerjakan shalat, saat itu pula mereka tengah belajar kebersihan, baik yang berbentuk inderawi maupun maknawi, dhahir maupun batin,[15] belajar mengenai akhlaq dan tata tertib, kejujuran dan kerapian, kerjasama dan bermasyarakat.[16] Seseorang yang baik shalatnya akan baik akhlaknya, begitupun sebaliknya. Para orang tua terutama seorang ayah harus


[1] QS. Luqman : 14
[2] Muchotob Hamzah, dkk, Tafsir Maudhu'i al-Muntaha Jilid 1, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hal. 189-182.
[3] QS. Al-Baqarah : 83
[4] QS. Luqman : 15
[5] QS. Al-Mulk : 2. Yang berbunyi: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
[6] QS. An-Nisa : 40
[7] QS. Luqman : 16
[8] Abu Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani, al-Ubudiyah, Tahqiq Muhammad Zuhair as-Syawisy, (Bairut: al-Maktab al-Islami, 2005), cet. VII, jilid 1, hal. 44. Lihat juga Abu Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani, al-Fatawa al-Kubra Li Ibni Taimiyah, Tahqiq Muhammad Zuhair as-Syawisy, (Bairut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1987), cet. I, jilid 5, hal. 154. Lihat juga Abu Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani, Majmu al-Fatawa, Tahqiq Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, (Madinah Munawwarah: Majma’ al-Mulk Fahd Li Thiba’ah al-Mushaf as-Syarif, 1995), jilid 10, hal. 149.
[9] Abu Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani, al-Ubudiyah.....hal. 44.
[10] QS. An-Nahl : 36
[11] QS. Luqman : 17, Qs. An-Nisa’ : 36, Qs. An-Nisa’ : 48, QS. Adz-Dzariyat : 56.
[12] Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab bin al-Hasan, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam Fi Syarhi Khamsiina Haditsan Min Jawami’ al-Kalam, Muhaqiq Syuaib Arnouth dan Ibrahim Bajis, (Bairut: Muassasah ar-Risalah, 2001), Cet. VII, Jilid 1, hal. 146.
[13] Muhammad Anwar Syah bin Mu’dzom Syah al-Kasymiriy al-Hindiy, Faidhul Bariy ‘Ala Shahih al-Bukhari, Muhaqiq Muhammad Badri ‘Alim al-Mirthiy, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 2005), Cet. I, Jilid 1, hal. 149.
[14] Abu Da'ud Sulayman ibn Ash`ath al-Azadi al-Sijistani, Sunan Abu Daud.....hal. 133.
[15] Sabil el-Ma’rufie, Dahsyatnya Shalat Dhuha: Pembuka Pintu Rezeki, (Bandung: Mizania, 2010), hal. 98.
[16] Abdullah Gymnastiar, Menjemput Rezeki Dengan Berkah, (Jakarta: Republika, 2003), Hal. 15-16.

Lanjut ke: Bagian 4, Bagian 5

Kembali ke: Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3
 
Share on Google Plus

About Zaenal Muhtadin

Adalah Sebuah keputusan This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment