mengajarkan putra-putrinya shalat karena ia yang
harus bertanggung jawab terhadap keluarganya,[1]
dan ialah sebagai pemimpin dirumahnya.[2]
Pendidikan tentang akhlak
Kata akhlak berasal dari kata 'khulq' yang
berarti perilaku, perangai atau tabiat yang
secara alami ada pada diri manusi berupa baik atau buruk.[3]
Menurut Imam al-Ghazali, akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan
pertimbangan terlebih dahulu. Sedangkan menurut Ibnu Maskawih, Akhlak ialah
keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
pertimbangan akal fikiran terlebih dahulu. Dengan demikian akhlak merupakan perbuatan
yang tetap yang muncul dari dalam jiwa seseorang serta tidak memerlukan daya
pemikiran dalam melakukannya alias reflek.
Rasulullah di utus adalah untuk menyempurnakan
akhlak.[4]
Siti Aisyah mengatakan bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah al-Quran.[5]
Akhlak Rasulullah yang dimaksudkan disini ialah kepercayaan, keyakinan, pegangan, sikap
dan tingkah laku Rasulullah saw yang semuanya merupakan manifestasi
kandungan kitab suci al-Qur’an. Dalam beberapa ayat
al-Qur’an menjelaskan cara berinteraksi dengan sesama yang lain dengan baik, seperti
yang kisahkan al-qur’an dalam surat luqman, yaitu bersikap tawadhu’, tidak
sombong. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu memalingkan
mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”[6]
Tawadhu’ merupakan akhlak mulia
dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis
salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak
dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula
Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi
Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam
perkataannya, “Dan berbakti kepada
ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.”[7]
Sikap tawadhu’ terhadap sesama
manusia merupakan sifat mulia yang lahir
dari kesadaran akan kemahakuasaan Allah SWT
atas segala hamba-Nya. Manusia adalah makhluk lemah yang tidak berarti
apa-apa di hadapan Allah SWT. Orang yang tawadhu’ menyadari bahwa apa saja yang
dia miliki, baik bentuk rupa yang cantik atau rupa yang tampan, ilmu
pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan, dan lain-lain
sebagainya, semuanya itu adalah karunia dari Allah SWT. Orang tawadhu bersikap rendah hati dan tidak menyombongkan
diri.[8]
Sikap tawadhu’ dihadapan manusia tidak akan membuat derajat seseorang
menjadi rendah. Dengan rendah hati akan lebih dihormati dan disegani. Masyarakat akan senang dan
tidak ragu bergaul dengannya. Bahkan lebih dari itu derajatnya di hadapan Allah
SWT semakin tinggi. Rasulullah SAW bersabda: “Tawadhu’, tidak ada yang
bertambah bagi seorang hamba kecuali ketinggian derajat. Oleh sebab itu
tawadhu’lah kamu, niscaya Allah akan meninggikan derajatmu.”[9]
Selanjutnya sifat tercela yang
perlu dihindari adalah sombong. Yaitu perasaan merasa lebih dan hebat yang
kemudian ditambah dengan sifat suka menghina dan merendahkan orang lain. Memandang
rendah manusia lain karena merasa dirinya lebih dari pada orang lain. Sebagai
contoh kesombongan Iblis yang enggan bersujud kepada Nabi Adam.[10]
Tidak cukup dengan kesombongannya kepada Allah, lalu ia merendahkan adam, "Saya
lebih baik dari dia (Adam), saya diciptakan dari api sementara dia diciptakan
dari tanah" .[11]
Penyakit sombong sulit
dihindari akan menyerang siapa saja, baik lelaki atau perempuan. Seseorang yang bekerja dengan lesu-lelah untuk
melaksanakan sebuah amal saleh, tatkala penyakit sombong datang padanya, maka
ketika itu pula menghancurkan amal salehnya. Kerena Rasulullah sudah
memperingatkan, beliau bersabda. “Adapun amal-amal yang membinasakan adalah
berprilaku kikir, mengikuti hawa nafsu dan membanggakan diri.”[12]
Kesombongan dapat membinasakkan orang yang memilikinya. Kesombongan sungguh
dapat menghancurkan amal-amal kebaikan sebagaimana ganasnya api saat melahap
kayu bakar. Karena kesombonganlah umat-umat terdahulu dihancurkan.
Kebalikan dari sikap sombong adalah sikap tawadhu’ (rendah hati). Sikap inilah yang merupakan sikap terpuji, yang merupakan salah satu sifat ‘Ibaadur Rahman yang Allah terangkan dalam firman-Nya, Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati (tawadhu’) dan mereka mengucapkan kata-kata yang baik.[13] Selayaknya kedua sifat ini, tawadhu perlu dijaga dan dibiasakan agar menjadi
Kebalikan dari sikap sombong adalah sikap tawadhu’ (rendah hati). Sikap inilah yang merupakan sikap terpuji, yang merupakan salah satu sifat ‘Ibaadur Rahman yang Allah terangkan dalam firman-Nya, Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati (tawadhu’) dan mereka mengucapkan kata-kata yang baik.[13] Selayaknya kedua sifat ini, tawadhu perlu dijaga dan dibiasakan agar menjadi
[1] QS. at-Tahrim : 6
[2] Abu Husain
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Muhaqiq
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Hadits No. 1829,
(Bairut: Dar Ihya at-Turats al-Arabiy, t.t.), Jilid 3, hal. 1499
[3] Abu as-Sa’adah al-Mubarak
Mujidduddin bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim as-Syaibani
al-Jazri bin al-Atsir, as-Syaafi Fi Syarhi Musnad as-Syafi’I Li Ibni
al-Atsir, Muhakik Ahmad bin Sulaiman, (Riyad: Maktabah ar-Rusydi, 2005),
Jilid 1, hal. 534.
[4] Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali bin Musa
Al-Khusrauijrdi Al-Khurasani Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra Lil Baihaqi,
Muhakik Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Hadits No. 20782, (Bairut: Dar al-Kutub
al-’Alamiyah, 2003), Jilid 10, hal. 323.
[5] Abu Ya’kub Ishaq bin Ibrahim bin Mukhlid bin
Ibrahim al-Handholi al-Maruzi, Musnad Ishaq
bin Rahwih, Muhakik Abdul Ghafur bin Abdul Haq
al-Balusyi, Hadits No. 1477, (Madinah Munawarah: Maktabatul Iman, 1991), Jilid 3, hal. 828.
[6] QS. Luqman :
18-19
[7] QS. Maryam :
32
[9] Abu Isa
Muhammad bin Isa bin sauroh bin Musa bin Dhohak at-Tirmdzi, Sunan at-Tirmidzi, Muhakik Ahmad Muhammad Syakir, Hadits No. 2029, (Mesir: Musthofa
al-Babiy al-Halabiy, 1975), Jilid 4, hal. 376.
[11] QS. Al-A'raf :
12
[12] Abu Bakar Ahmad bin Amru bin Abdul Khalik bin
Khalad bin Ubaidillah al-‘Atki, Musnad al-Bazar, Muhakik ‘Adil bin Saad, Hadits No. 7293, (Madinah
Munawarah: Maktabatul Ulum wal Hikam, 1991), Jilid 13, hal. 486.
[13] QS. Al-Furqaan : 63
Blogger Comment
Facebook Comment