Korelasi Tauhid dan Pendidikan: Penanaman Tauhid Prioritas Utama Dalam Pendidikan (Bagian 4)



mengajarkan putra-putrinya shalat karena ia yang harus bertanggung jawab terhadap keluarganya,[1] dan ialah sebagai pemimpin dirumahnya.[2]

Pendidikan tentang akhlak
Kata akhlak berasal dari kata 'khulq' yang berarti perilaku, perangai atau tabiat  yang secara alami ada pada diri manusi berupa baik atau buruk.[3] Menurut Imam al-Ghazali, akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan terlebih dahulu. Sedangkan menurut Ibnu Maskawih, Akhlak ialah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa pertimbangan akal fikiran terlebih dahulu. Dengan demikian akhlak merupakan perbuatan yang tetap yang muncul dari dalam jiwa seseorang serta tidak memerlukan daya pemikiran dalam melakukannya alias reflek.
Rasulullah di utus adalah untuk menyempurnakan akhlak.[4] Siti Aisyah mengatakan bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah al-Quran.[5] Akhlak Rasulullah yang dimaksudkan disini ialah kepercayaan, keyakinan, pegangan, sikap dan tingkah laku Rasulullah saw yang semuanya merupakan manifestasi kandungan kitab suci al-Quran. Dalam beberapa ayat al-Qur’an menjelaskan cara berinteraksi dengan sesama yang lain dengan baik, seperti yang kisahkan al-qur’an dalam surat luqman, yaitu bersikap tawadhu’, tidak sombong. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”[6]
Tawadhu’ merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya, “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.”[7]
Sikap tawadhu’ terhadap sesama manusia  merupakan sifat mulia yang lahir dari kesadaran akan kemahakuasaan Allah SWT  atas segala hamba-Nya. Manusia adalah makhluk lemah yang tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT. Orang yang tawadhu’ menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk rupa yang cantik atau rupa yang tampan, ilmu pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan, dan lain-lain sebagainya, semuanya itu adalah karunia dari Allah SWT. Orang tawadhu bersikap rendah hati dan tidak menyombongkan diri.[8]
Sikap tawadhu’ dihadapan manusia tidak akan membuat derajat seseorang menjadi rendah. Dengan rendah hati akan lebih dihormati dan disegani. Masyarakat akan senang dan tidak ragu bergaul dengannya. Bahkan lebih dari itu derajatnya di hadapan Allah SWT semakin tinggi. Rasulullah SAW bersabda: “Tawadhu’, tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba kecuali ketinggian derajat. Oleh sebab itu tawadhu’lah kamu, niscaya Allah akan meninggikan derajatmu.”[9]
Selanjutnya sifat tercela yang perlu dihindari adalah sombong. Yaitu perasaan merasa lebih dan hebat yang kemudian ditambah dengan sifat suka menghina dan merendahkan orang lain. Memandang rendah manusia lain karena merasa dirinya lebih dari pada orang lain. Sebagai contoh kesombongan Iblis yang enggan bersujud kepada Nabi Adam.[10] Tidak cukup dengan kesombongannya kepada Allah, lalu ia merendahkan adam, "Saya lebih baik dari dia (Adam), saya diciptakan dari api sementara dia diciptakan dari tanah" .[11]
Penyakit sombong sulit dihindari akan menyerang siapa saja, baik lelaki atau perempuan. Seseorang yang bekerja dengan lesu-lelah untuk melaksanakan sebuah amal saleh, tatkala penyakit sombong datang padanya, maka ketika itu pula menghancurkan amal salehnya. Kerena Rasulullah sudah memperingatkan, beliau bersabda. “Adapun amal-amal yang membinasakan adalah berprilaku kikir, mengikuti hawa nafsu dan membanggakan diri.”[12] Kesombongan dapat membinasakkan orang yang memilikinya. Kesombongan sungguh dapat menghancurkan amal-amal kebaikan sebagaimana ganasnya api saat melahap kayu bakar. Karena kesombonganlah umat-umat terdahulu dihancurkan.
          Kebalikan dari sikap sombong adalah sikap tawadhu’ (rendah hati). Sikap inilah yang merupakan sikap terpuji, yang merupakan salah satu sifat ‘Ibaadur Rahman yang Allah terangkan dalam firman-Nya, Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati (tawadhu’) dan mereka mengucapkan kata-kata yang baik.[13] Selayaknya kedua sifat ini, tawadhu perlu dijaga dan dibiasakan agar menjadi


[1] QS. at-Tahrim : 6
[2] Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Muhaqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Hadits No. 1829,  (Bairut: Dar Ihya at-Turats al-Arabiy, t.t.), Jilid 3, hal. 1499
[3] Abu as-Sa’adah al-Mubarak Mujidduddin bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim as-Syaibani al-Jazri bin al-Atsir, as-Syaafi Fi Syarhi Musnad as-Syafi’I Li Ibni al-Atsir, Muhakik Ahmad bin Sulaiman, (Riyad: Maktabah ar-Rusydi, 2005), Jilid 1, hal. 534.
[4] Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali bin Musa Al-Khusrauijrdi Al-Khurasani Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra Lil Baihaqi, Muhakik Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Hadits No. 20782, (Bairut: Dar al-Kutub al-’Alamiyah, 2003), Jilid 10, hal. 323.
[5] Abu Ya’kub Ishaq bin Ibrahim bin Mukhlid bin Ibrahim al-Handholi al-Maruzi, Musnad Ishaq bin Rahwih, Muhakik Abdul Ghafur bin Abdul Haq al-Balusyi, Hadits No. 1477, (Madinah Munawarah: Maktabatul Iman, 1991), Jilid 3, hal. 828.
[6] QS. Luqman : 18-19
[7] QS. Maryam : 32
[8] Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim....hal. 2198.
[9] Abu Isa Muhammad bin Isa bin sauroh bin Musa bin Dhohak at-Tirmdzi, Sunan at-Tirmidzi, Muhakik Ahmad Muhammad Syakir, Hadits No. 2029, (Mesir: Musthofa al-Babiy al-Halabiy, 1975), Jilid 4, hal. 376.
[10] QS. Al-Baqarah : 24
[11] QS. Al-A'raf : 12
[12] Abu Bakar Ahmad bin Amru bin Abdul Khalik bin Khalad bin Ubaidillah al-‘Atki, Musnad al-Bazar, Muhakik  ‘Adil bin Saad, Hadits No. 7293, (Madinah Munawarah: Maktabatul Ulum wal Hikam, 1991), Jilid 13, hal. 486.
[13] QS. Al-Furqaan : 63

Lanjut ke: Bagian 5

Kembali ke: Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3

 
Share on Google Plus

About Zaenal Muhtadin

Adalah Sebuah keputusan This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment