Ditulis oleh : Zaenal Muhtadin
PENDAHULUAN
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang
paling istimewa diantara sebelas bulan yang lainnya. Segala amal ibadah yang dilakukan
di dalamnya mendapat pahala berlipat ganda. Bahwa bagi yang melakukan kebaikan
mendapat 70 kali lipat bahkan 1000 kali lebih banyak dari pada biasanya.[1]
Dalam Surat al-Qadr disebutkan bahwa Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur'an,
yang di dalamnya terdapat satu malam yang kemuliaannya lebih baik dari seribu
bulan.[2]
al-Jurjaniy mengatakan, berbuat kebaikan di malam tersebut pahalanya lebih baik
dari pada mengerjakannya di waktu 1000 bulan.[3]
Dengan demikian, Ramadhan bulan teristimewa bagi mendapat ampunan dan balasan
baik.
Diantara amaliah Ibadah yang dilakukan dibulan Ramadhan adalah Shalat Tarawih. Kata Tarawih sendiri adalah bentuk jama’ (plural) dari kata tunggal Tarwîhah yang berarti istirahat untuk menghilangkan kepenatan. Menurut ethimologi berasal dari kata murâwahah berarti saling menyenangkan dengan wazan Mufâ’alahnya al-Râhah yang berarti merasa senang.[4] Term ini merupakan bentuk lawan kata dari al-Ta’ab yang berarti letih atau payah.[5] Shalat Tarawih adalah shalat sunah yang khusus dilaksanakan hanya pada malam-malam bulan Ramadhan. Shalat tarawih tidak pernah dilakukan diluar bulan Ramadhan. Walaupun demikian shalat Tarawih di sebut juga shalat Qiyamullail atau Qiyam Ramadhan yaitu shalat yang bertujuan menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan, senada dengan yang dituturkan az-Zarqani.[6] Dinamakan Tarawih karena orang yang melaksanakan shalat sunah di malam bulan Ramadhan beristirahat sejenak di antara dua kali salam atau setiap empat rakaat. Sebab dengan duduk tersebut, mereka beristirahat karena lamanya melakukan shalat.[7] Shalat Tarawih termasuk salah satu ibadah yang utama, dilakukan di Mesjid dengan berjamaah seperti yang contohkan para Salafus Shalih guna mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wataala.[8]
Berlainan dengan kelompok Syi’ah[9] yang menyangsikan akan keabsahan jamaah Tarawih. al-`Amili mengatakan dalam kitab Wasa’il al-Syi`ah bahwa melakukan nafila (shalat sunah tarawih) secara berjemaah di malam Ramadan adalah bid’ah.[10] Senada dengan pendapat ini al-Musawi menambahkan bahwa tidak perlu mengamalkan shalat Tarawih, karena Tarawih dianggap sebuah bid’ah[11] yang tidak pernah dilakukan oleh Rasullullah saw. begitu juga di zaman Abu Bakar as-Shidik melainkan disyariatkannya Tarawih pada zaman Umar bin Khatab. Sehingga Umar bin Khaththab dicap sebagai orang yang memulai mensyariatkan shalat Tarawih atas dasar pendapat pribadinya sehingga dia mengatakan ''ini adalah sebaik-baik bid'ah'' (nimatul bid'ah hadzihi ). Dia lah yang dianggap pembawa bid’ah.[12] Dengan demikian sedikit sekali kaum Syi’ah yang melaksanakan Tarawih di bulan Ramadhan.
Perbedaan pendapat ini terus berlangsung
hingga kini. Berbagai buku fiqh karya para ulama ahlu sunnah telah
banyak membahasnya. Namun pembahasannya belum secara komprehensif dan menjawab kekeliruan
tersebut. Dengan demikian, penulis terdorong untuk menjelaskan kontroversi kedudukan
shalat Tarawih berjamaah ditinjau dari periwayatan dan pendapat para ulama
shalih terdahulu. Selamat membaca.
HADITS
BERKAITAN DENGAN JAMAAH TARAWIH
Adapun hadits-hadits yang sering diperdebatan
dan diklaim tidak absah menjadi dalil pelaksanaan shalat tarawih berjamaah
adalah hadits berikut. Dari penelusuran ditemukan ada empat mukharrij yang
mengeluarkan hadith tersebut. Masing-masing satu hadits dalam Shohih Bukhari
no. 2010, satu hadits dalam Sunan al-Kubra Lil Baihaqiy no. 4275, satu hadits
dalam Muwatha Abdullah bin Wahab no. 272, dan satu lagi dalam al-Mushannaf no.
7723. Adapun hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut :
Hadits
Pertama diriwayatkan Imam Bukhari
وَعَنِ
ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ
القَارِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى المَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ،
يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ،
فَقَالَ عُمَرُ: "إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ،
لَكَانَ أَمْثَلَ" ثُمَّ عَزَمَ، فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، ثُمَّ
خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ، قَالَ
عُمَرُ: "نِعْمَ البِدْعَةُ هَذِهِ، وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ
الَّتِي يَقُومُونَ" يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ.[13]
Artinya:
[1] Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin
Khuzaimah bin al-Mughirah bin Shalih bin Bakar as-Silmiu an-Naisaburiy, Shahih
Ibnu Khuzaimah, Tahqiq Mhammad
Musthafa al-‘Adhomiy, No. Hadits 1887, (Bairut: al-Maktab Al-Islamiy, 1423
h/2003 m), Jilid 3, hal. 191.
[2] Surat al-Qadar : 1-3
[3] Abu Bakar Abdul Qahir bin
Abdurrahman bin Muhammad al-Farisiy al-Jurjaniy, Darju ad-Durari Fi Tafsiri
al-Ayi wa as-Suwari, (Britania: Majalah al-Hikamah, 2008), Jilid 4, hal.
1747.
[4] Ibrahim Musthafa, dkk, al-Mu’jam
al-Washith, (Kairo: Dar ad-Dakwah, t.t.), hal. 380.
[5] Ali bin al-Hasan al-Hunaiy
al-Azdiy, al-Munjid Fi al-Lughah, Tahqiq Ahmad Mukhtar Umar, (Kairo:
‘Alimu al-Kutub, 1988), cet. 2, hal. 47.
[6] Muhammad bin Abdulbaqi bin Yusuf
az-Zarqani al-Misri al-Azhari, Syarh az-Zarqani ‘Ala Muwatha al-Imam Malik,
Tahkik Thaha Abdul Rauf Sa’ad, No. Hadits 251, (Kairo: Maktabah as-Tsaqafah
ad-Diniyah, 2003), Cet. 1, Jilid 1, hal. 414.
[7] Abul Fadhl
Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath
Al-Bari fi Syarh Shahih Al-Bukhari, (Bairut: Darul Ma’rifah, 1379), Juz 4, hal.
250.
[8]
Muhammad
bin Ismail Abu Abdullah al-Ja’fi al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Muhakik Muhammad Zuhair bin
Nashir an-Nashir, No. Hadits 2010, (Bairut.: Daruthuq an-Najah, 1422), Jilid 3,
hal. 45.
[9] Secara bahasa kata “asy-Syi’ah”
berarti pengikut atau pendukung. Sedangkan secara terminologis Syi’ah berarti
orang-orang yang mendukung sahabat Ali bin Abi Thalib secara berlebihan dan
menganggap hanya sahabat Ali bin Abi Thalib saja yang berhak untuk memegang
tampuk kekusaan khalifah dengan ketetapan nash dan wasiat dari Rasullullah
Shalallahu ‘alayhi wasallam. Mereka berkeyakinan bahwa hak menjadi pemimpin
umat Islam (Imamah) berada pada keturunan sahabat Ali bin Abi Thalib mengingkari tiga shahabat
utama rasul dan melaknat shabat pada umumnya..
[10] Muhammad Bin Hasan Al-Hur
Al-ʼAmili, Wasā’il Asy-Syìʻah, (Bairūt : Muasasah Āli Bait Lì Ihyāʼ
At-Turats, 1414) Jilid 8, hal. 45.
[11] Bid‘ah adalah segala sesuatu
yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, baik
yang terpuji maupun yang tercela. Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua
bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau
menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di
antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang
sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an,
Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. Diriwayatkan
Imam Al-Hafizh Al-Muttaqin Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali bin Musa
Al-Khusrauijrdi Al-Khurasani Al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i, Tahqiq as-Sayyid
Ahmad Shaqr, (Kairo: Dar at-Turats, 1970), Juz 1, hal. 469.
[12] Abdul
Husain Syafaruddin al-Musawi, Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah Syi’ah,
(Bandung: Mizan, 1991), hal. 76.
Blogger Comment
Facebook Comment